Sudah sebulan ini aku berada di kampung orang tuaku. Sebuah kampung di timur kota Kabupaten Kendal. Disana masih ada kedua kakakku dan anak-anaknya. Bapakku mengalami stroke dan sempat jatuh beberapa kali. Hal itu membuatku kuatir. Karena itulah aku memutuskan pulang ke kampung halaman untuk sekedar membantu keluarga.
Jika dahulu keluarga orang tuaku berkecukupan, tidak dapat dibilang seperti itu untuk saat ini. Bapakku tidak lagi bekerja. Kakak perempuanku hanya mengandalkan belas kasihan saudara yang lain. Kakak lelakiku hanya bekerja serabutan. Tak hayal ekonomi keluarga orang tuaku goncang.
Hari itu seminggu sebelum bulan Ramadhan tiba. Pagi di akhir bulan Mei, suasana tak secerah tahun lalu. Mendung cenderung betah dilangit kampungku. Seperti pagi hari-hari sebelumnya, aku bergegas menuju warung yang menjual sarapan.
Dengan lunglai aku melangkah. Warung itu hanya beberapa kelok dari rumahku. Tak lebih dari 10 menit berjalan kaki, warung langgananku sudah terlihat. Aku lirik uang di genggamanku dengan seksama. Pecahan uang 10 ribu lusuh sisa kembalian hari kemarin.
Sepertinya jika untuk membeli nasi untuk orang serumah tidak akan cukup. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli gorengan dan sayur satu bungkus. “Jangan (istilah sayur di Jawa), mbak” pesanku kepada pemilik warung. “sisanya kasih aja gorengan” kataku meneruskan.
Dengan sabar pemilik warung melayani banyaknya pembeli pagi itu. Aku yang mendapat giliran awal dengan cepat menerima pesanan yang aku inginkan. Pas 10 ribu rupiah untuk semua yang aku pesan tadi. Aku melangkah lunglai kembali menyusuri jalan yang biasa aku lalui setiap harinya.
Dirumah, aku harus siapkan beberapa hal untuk menanak nasi. Kompor gas bantuan pemerintah tak dapat aku gunakan karena gasnya habis. Tabung itu terjongok membangkai karena keluarga kami tak mampu “menghidupi”nya lagi. Terpaksa sandal bekas sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah untuk menyulut kayu-kayu yang kemarin sore dikumpulkan oleh ibuku yang renta dari kebun.
Asap mengepul menerpa mukaku yang kusut. Dari pagi aku memang belum mandi. Jadi biarlah asap sangit itu menyemburku, gumamku dalam hati. Api dari kayu bakar dengan ganas melalap setiap bagian kayu hingga menjadi debu. Sekitar 20 menit nasi untuk keluargaku telah masak.
“Krucuk…krucuk…krucuk…” seperti ada gemericik air di belakangku. Bau pesing menyengat ke hidungku yang tak cukup mancung tapi peka terhadap bau-bau aneh. Aku berpaling kearah bunyi dan bau berasal.
Sial, bapakku buang air di ranjang, umpatku dalam hati. “Loh, pak. Kalau mau kencing itu ya ke kamar mandi. Kok malah kencing di situ” kataku kesal. Dia hanya diam menatapku tajam. Entah apa yang ada di pikirannya. Sejurus kemudian dia baringkan lagi tubuh rentanya.
Dengan perasaan kesal aku kembali ke dapur meneruskan pekerjaan wanita yang seharusnya bukan aku yang melakukannya. “Ke kamar mandi aja ngga mau. Ngga jauh juga kamar mandi hanya 10 meter” gerutuku sambil terus memindahkan nasi dari periuk ke ceting (tempat nasi dari bambu).
Hari-hari aku lalui dengan begitu berat. Dengan kondisi bapakku yang pasca stroke, orangnya malas berjalan ke kamar mandi, rumah penuh dengan bau pesing yang tidak terbayang, ditambah dengan kondisi keuangan yang sama sekali nihil.
Tekanan itu begitu besar. Rasanya ingin menyerah saja. Sampai masanya aku tak tahan lagi dengan sikap bapakku yang sudah diluar nalar sehatku. Aku marah besar saat itu. Hari terakhir sebelum bulan Ramadhan.
Beberapa tetanggaku datang menagih hutang bapakku. Menurut mereka, bapakku setiap hari datang ke warung mereka untuk berhutang sekedar makanan atau atau rokok. Sebagai anaknya, aku diminta untuk membayarnya. Sementara itu aku belum punya uang untuk membayarnya. Pekerjaanku sebagai penulis belum lagi membuahkan rupiah.
“Tom!” teriak dari dalam. Bapakku memanggilku. “Aku mau makan!” perintahnya kepadaku. “Loh, kan baru saja makan?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi. “Belum, aku lapar belum makan” katanya membela diri.
“hih…” gerutuku dalam hati. Padahal belum lagi piring disingkirkan dari meja di depan tempat tidurnya. “Bapak tuh baru saja makan. Jangan gitu dong pak. Piring saja belum disingkirkan. Lagipun bapak kan bisa ngambil sendiri. ke warung saja bisa, ambil makanan di meja masak ngga bisa. Kalau mau kencing juga tuh, ke kamar mandi!” kataku dengan nada lebih keras dari sebelumnya.
Dia menatapku lagi dengan tatapannya yang mengerikan. Bapakku tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku berlalu dari hadapannya menuju kamar pribadiku. Ingin sekali aku berteriak melepaskan semua himpitan emosional yang ku tanggung. Ledakan itu tak dapat keluar. Akhirnya percikannya menetes melalui air mataku.
Seharian aku mengurung diri di kamar hingga malam tarawih pertama menandakan besok pagi sudah mulai berpuasa. Pikiranku masih diliputi rasa dongkol yang besar. Aku masih belum menemukan arti tatapan bapakku tadi siang. Sebegitu jahatnyakah bapakku, atau dia hanya mencari perhatianku saja?.
Banyak orang berpendapat, saat kita mulai renta, kita akan kembali pada sikap kanak-kanak. “Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat (kasih sayang). Hari ini bapakmu masih bisa bersamamu. Bagaimana jika nanti Allah memanggilnya? Ini adalah kesempatanmu melaksanakan kewajiban sebagai seorang anak. Membalas apa yang telah orang tua lakukan saat kamu masih bayi dulu. Jika dulu dirimu buang air, bukan saja di kasur, tapi juga di baju mereka. Mereka malah tertawa senang. Kenapa hari ini kamu begitu marah, sedang dia hanya kencing di sudut kamar bukan di bajumu?”
Aku terkejut. Rupanya aku tak sadar tertidur. Aku berlari membuka pintu kamarku dan mendekati bapakku yang merebah di ranjangnya. Dengan menangis aku meminta maaf kepadanya. Ku cium tangannya dan ku peluk pria renta di hadapanku. Bau-bau pesing tak lagi aku hiraukan. “Aku ngga apa-apa kok nak” jawabnya halus. Ku tatap lelaki itu dengan mata yang masih basah. “Bapak mau makan? Tanyaku kepadanya. Dia hanya mengangguk meng-iya-kan tawaranku.
Oleh: Bastomi
Dari: Tembalang, Semarang