Ramadhan selalu meninggalkan kisah sendiri. Ada bahagia, ada luka, bahkan ada misteri kehidupan. Setiap tahunnya kami selalu menikmati maknanya. Ramadhan tahun ini tak seperti ramadhan tahun-tahun yang telah terlewati. Semua terasa berbeda bila dibandingkan saat kami tinggal di pulau Jawa. Ya, tahun ini kami menjalani puasa bulan Ramadhan di Pulau Bali. Sebuah pulau dengan mayoritas penduduk beragama Hindu yang memegang teguh kemurnian adat dan tradisinya. Di pulau ini jangan harap akan mendengar azan, apalagi suara petasan jedar-jedor seperti di jawa. Tak ada pawai keliling yang siap membangunkan sahur. Sepi!
Ummat muslim harus memasang alarm agar tidak kesiangan sahur. Kami harus menempuh jarak berkilo-kilo meter sekedar untuk shalat Tarawih berjamaah di Mesjid dan itupun tanpa pengeras suara, sebab di sini tidak diperkenankan mengumandangkan suara azan maupun bacaan sholat. Lalu apakah semua itu menyurutkan semangat untuk beribadah?
Masya Allah, semua kendala itu tak sedikitpun menyurutkan langkah ummat untuk mendatangi rumah-rumah Allah. Tak sedikitpun menghalangi ummat untuk bersujud memuja Nya, justru sebaliknya. Kita akan mendapati pemandangan indah saat mengunjungi masjid-masjid yang ada, menyaksikan ratusan orang bersujud penuh kepasrahan. Betapa syahdu dan damai.
Awalnya kami mengira suasana ramadhan di pulau ini akan sangat menyesakkan dan asing sehingga membuat kami selalu ingin kabur ke Jawa, tapi ternyata dugaan kami salah! Justru di pulau ini kami bisa beribadah puasa dengan khidmat, tak terganggu dengan warung-warung makan yang bertebaran di siang hari. Kami tak perlu lagi nggerundel akibat suara petasan anak muda yang acap memekakkan telinga dan membuat jantung seolah mau copot. Tak perlu khawatir anak-anak terkena ledakan petasan dan bahkan tak perlu bingung mencari warung makan saat sahur tiba. Ramadhan di Bali tak seburuk bayangan kami sebelumnya.
Suhu di Bali memang lebih panas dibandingkan pulau Jawa, kebayang dong bagaimana panasnya saat siang hari? Tapi janji Allah itu benar, panasnya suhu di Bali tak mengurangi semangat kami untuk berpuasa menahan lapar, haus dan amarah. Semua bisa terlewati.
Bahkan beberapa hari yang lalu, ada sebuah kejadian yang membuatku begitu haru. Saat itu kami sedang menjalankan sholat tarawih berjamaah, tiba-tiba hujan disertai angin kencang datang menerpa, membasahi karpet dan hijab-hijab yang dikenakan untuk sholat. Pepohonan meliuk-liuk kuat seolah hendak menyapu semua yang ada di sampingnya. Mencekam!
Namun, tak satupun jamaah beranjak menyelamatkan diri, semua khusyuk dalam doanya. Tak goyah hingga sholat berakhir. Satu pemandangan yang jarang terjadi. Umumnya kita akan berlari dan berteduh saat hujan badai datang atau sekedar menyelamatkan diri dari bahaya yang mungkin menimpa akibat angin kencang disertai hujan deras. Sampai-sampai saat itu kami berpikir, apakah ajal kami hampir dekat?
Tak berapa lama sholatpun berakhir. Ketegangan mampu kami lewati, meski dengan tubuh basah terkena hempasan air hujan. Malam itu menjadi saksi betapa kami manusia begitu lemah tanpa daya. Begitu kecil di mata Allah SWT.
Oleh: Sri Rahayu