Pangeran yang Tak Kuimpikan

Air mata di awal Ramadhan 1438 H ini tak dapat terbendung, mengalir secara konsisten walau tak deras namun tanpa jeda. Menangis sekaligus tersenyum mengenangnya, rencana suci yang sangat aku harapkan itu harus kandas lagi, kecewa tingkat dewa pun belum bisa mewakili perasaan hatiku saat ini, terlebih untuk wanita yang terbilang telah berumur sepertiku.

Ya Allah, aku bukan menolak takdir-Mu. Takdir-Mu adalah ketetapan-Mu, ya Allah. Tetapi hamba-Mu ini memohon, berilah keikhlasan dan golongkanlah aku dalam kaum yang berfikir dalam menangkap bahasa petunjuk-Mu.

Akhirnya aku pun harus ikhlas. Harus sadar sesadar-sadarnya atas petunjuk-Nya lewat kejadian yang menimpaku, bahwa tak cukup hanya lisan yang dapat berperan dalam kesaksian bahwa aku berserah sepasrah-pasrahnya pada ketentuan-Mu, melainkan Allah sampaikan pembuktiannya lewat kado berupa didatangkannya sosok pangeran.  Ya, pangeran yang didatangkan Allah untuk menguji keimannku, sekaligus menunjukkan bahwa hanya cinta-Nya yang abadi.

Farid Atma Negara, sosok yang kukenal saat mengikuti diklat pendidikan selama lima hari di sebuah wisma.  Saat pembagian kelompok diklat, kami tergabung dalam satu kelompok yang sama.  Dia ditunjuk sebagai ketua tim dan aku sekretarisnya.  Caranya dalam memimpin tim adalah jurusnya yang pertama yang menimbulkan benih kekagumanku padanya. Meskipun awalnya canggung untuk berkomunikasi dengannya, karena memang sifatku yang agak sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, terlebih dengan sosok orang-orang baru. Namun sifat easy going-nya membuatku seperti sudah mengenalnya dalam waktu cukup lama.

Chemistry itu pun terbentuk rapi terlebih saat aku tau bahwa dialah yang mengimami kami shalat berjamaah disetiap Maghrib, Isya, dan Subuh selama diklat.  Lantunan Al-Qur’an  yang dibacanya menggetarkan siapa pun yang mendengarnya. Makhraj, tajwid, dan nada bacaanya, masyaallah.  Alhasil komunikasi kami tak terputus selama diklat berlangsung.

Waktu selama enam bulan bukanlah waktu yang sebentar untuk kami lalui, meskipun waktu untuk bertemu kami diatur oleh dinas pendidikan (seru ya?) Jadi, setelah diklat selesai ada penilaian di mana dua peserta diklat terbaik akan dilatih untuk menjadi narasumber pada diklat tahun berikutnya.  Jadwal dan fasilitas kami pun free ditanggung oleh dinas pendidikan. Cerita unik, no mainstream, dan yang pasti irit.  Allah Maha Baik.

Selama enam bulan kami bertemu 3 kali, tepatnya 2 bulan sekali. Kami menerima pelatihan itu.  Dua bulan pertama kami lalui tanpa masalah, semua berjalan indah. Dua bulan kedua mulai timbul masalah, aku sudah mulai menanyakan tujuan hubungan kami dan tidak mendapatkan jawaban yang selayaknya diharapkan semua wanita di dunia ini, namun dapat terselesaikan saat kami pelatihan.

Jawaban yang aku harapkan itu pun keluar dari mulutnya, bahwa menjelang Ramadhan 1438 H ia akan silaturahim ke rumahku dan mengatakan maksudnya. Wanita mana yang tak bahagia mendapatkan jawaban yang mengandung kepastian dari seorang sosok yang selama ini dikagumi. Sepulang diklat, kabar ini dengan bangga aku ceritakan kepada Ibuku, dan dengan cepat menyebar di keluarga besarku.  Semua menyambut berita itu dengan bahagia, karena itulah berita yang mereka nanti-nantikan.

Berbagai referensi keilmuan pranikah aku kumpulkan, baik berupa tausiah dalam bentuk video maupun uraian. Aku ingin hal yang aku impikan itu aku lalui dengan berbekal ilmu Allah, karena tujuan utama sebuah pernikahan adalah beribadah dan lebih dekat dengan-Nya.

Salah satu referensi yang aku baca mengharuskan bahwa sebelum memutuskan perkara dari yang terkecil sampai yang terbesar maka libatkanlah Allah.  Tahajudlah, istikharah, dan baru putuskan…

Astagfirullah, ampunilah ya Allah, Engkau yang hadirkan dia, yang mengatur segalanya, setelah aku dapatkan sedikit percikan kebahagian itu aku lupakan Engkau…Astagfirullah.

Mulai aku terapkan ilmu yang aku baca, melibatkan Allah untuk memutuskan segala urusan.  Tetapi entah mengapa rasa ragu itu muncul, entah apa sebabnya.  Satu minggu aku lakukan itu, rasa ragu itu makin besar.  Bukankah Allah memerintahkan, “Tinggalkanlah yang sifatnya meragukan.” Ya Allah, apakah ini pertanda petunjuk ataupun godaan setan?  Berkecamuk antara ya atau tidak, tapi cenderung ke “tidak” tanpa tahu apa sebabnya.

Aku coba baca kembali referensi yang sudah aku kumpulkan, salah satu syarat sakinahnya sebuah keluarga yaitu di dalamnya hanya terdapat “rezeki berkah”, tak tahu mengapa aku sangat semangat membaca bagian itu, aku ulang-ulang seperti saat aku membaca novel dengan bahasa sastra tinggi dan untuk mengerti maksud novel itu harus dibaca berulang-ulang.

Selepas bersimpuh dalam keheningan malam, aku tak sabar ingin menghubunginya. Ada hal yang aku tak sabar untuk dapat jawaban dari pertanyaan yang tiba-tiba terbesit menggangu pikiranku.

Aku ambil ponselku, aku telepon dia. Aku ceritakan keraguan mengenai status kepegawaiannya. Jantungku berdegup sangat kencang, menantikan jawaban itu. Di luar dugaan, sosok yang aku kagumi ternyata tak lebih dari mereka yang mengandalkan pelicin untuk mendapatkan status kepegawaian, meskipun ia menjelaskan bahwa itu bukan keinginannya, tetapi keinginan orangtuanya. Aku tutup telepon tanpa salam.  Aku menangis sejadi-jadinya, ini petunjuk-Mu, ya Allah?

Bukanlah hal yang mudah untuk memutuskan semuanya, mengubah iya menjadi tidak.  Ya Allah, jika aku lanjutkan, maka nafkah yang akan aku terima nantinya sudah jelas hukumnya, tetapi jika tidak? Sulit, bagaimana keluargaku? Semuanya yang baru kemarin mendapatkan berita bahagia, sekarang? Mereka saja sedih, bagaimana dengan aku?

Astagfirullah, tetapi aku yakin jika kali ini Engkau hadirkan pengeran yang dirindukan banyak orang, secara fisik oke, kepribadiannya baik, tetapi dia bukanlah sosok pangeran yang aku impikan yang akan mengajakku ke surgaMu.

Tak dapat dipaksakan keadaannya, akan dikira orang paling gila seantero jagat jika mundur (resign) dari status kepegawaian itu demi rezeki halal. Aku ingin bahagia, namun takutku lebih besar pada-Mu, bukankah salah satu syarat diijabahnya sebuah doa adalah makanan dan minuman yang halal dan thayyib, karena saat tertelan harta haram dalam darah ini, terputuslah pertolongan-Mu, hilang berkah-Mu.

Aku tak mau, ya Allah, jika ada batasan berinteraksi dengan-Mu. Hidup seperti itu lebih menyakitkan, ya Allah. Aku putuskan dia bukan pangeran yang aku impikan karena-Mu. Aku yakin akan jaminan-Mu, Engkau akan hadirkan pangeran yang aku impikan pada saat yang tepat dengan skenario indah-Mu.

Meliasari

Nama: Meliasari
email : meliasaxxx@gmail.com

 

 


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *