Apa Hukum Menukar Uang Receh Selain di Bank?

Kedatangan Hari Raya Idul Fitri 1437 H tinggal hitungan jari ke depan. Dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Hari raya Idul Fitri atau lazim disebut dengan Lebaran di Indonesia bukan saja menghadirkan fenomena ritus spiritual, tapi juga fenomena budaya dan sosial.

Banyak aspek budaya dan sosial yang mengemuka sebelum, selama, dan sesudah Lebaran berlangsung. Salah satunya adalah kebiasan mudik, saling memberi hadiah maupun uang, terutama kepada anak kecil, juga mengadakan silaturahmi dalam bentuk acara Halal bi Halal.

Tradisi mudik barangkali tradisi khas masyarakat Indonesia yang jarang ditemui di negara-negara Muslim lainnya di dunia. Begitu pula dengan tradisi Halal bi Halal seusai Lebaran.

Terkait dengan tradisi mudik, ada salah satu fenomena unik di Indonesia jelang Lebaran, yakni ramainya orang yang menukarkan uang kertas dengan nominal besar untuk dijadikan uang receh atau uang kertas dengan nominal lebih kecil. Umumnya, pecahan uang yang paling diminati adalah dengan nominal mulai dari Rp10 ribu, Rp5 ribu sampai pecahan uang dengan nominal Rp2 ribu.

Uang receh tersebut nantinya dipergunakan untuk menggembirakan anak-anak selama proses silaturahmi dan saling bermaafan di hari Lebaran.

Tingginya minat masyarakat akan uang pecahan kecil membuat sejumlah orang yang ingin mengais sejumput keuntungan. Pada beberapa titik keramian seperti di daerah terminal, stasiun, maupun jalan-jalan besar lumrah dijumpai para penjaja uang receh yang melayani jasa penukaran uang.

Para pelayan jasa tukar uang itu biasanya mengutip rata-rata Rp10 ribu sebagai imbal jasa dari penukaran uang kertas dengan nominal Rp100 ribu.

Penukaran uang semacam itu sesungguhnya telah sejak lama dipraktikkan oleh para kondektur angkutan umum yang biasa menukarkan uang kertas dengan nominal Rp10 ribu untuk mendapatkan uang logam receh sebanyak Rp9 ribu. Kutipan uang sebesar Rp1.000 tersebut sudah sangat dimafhumi oleh para kondektur.

Sikap MUI

Fenomena penukaran uang receh disikapi lain oleh beberapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di daerah, terutama MUI Jawa Barat (Jabar), MUI Sumatra Barat (Sumbar), dan MUI Jombang. Ketiga lembaga keagamaan tersebut sejak tiga pekan terakhir gencar mengimbau masyarakat agar menghindari penukaran uang di pinggir jalan.

Larangan tersebut didasarkan pada praktik penukaran yang diindikasi mengandung riba atau transaksi ekonomi yang haram hukumnya dalam Islam.

Tanggapan dan Polemik

Sampai detik ini, larangan untuk menukar uang receh di pinggir jalan memang masih sebatas imbauan. MUI pusat maupun pengurus MUI di daerah-daerah baru sebatas mengimbau status haram praktik penukaran uang dengan cara tersebut dan menyarankan agar penukaran dilakukan di bank yang tidak terindikasi riba. Imbauan MUI ditanggapi beragam oleh pengguna jasa maupun penjaja jasa penukaran uang.

Anis (50) yang biasa menjajakan jasa penukaran uang di kawasan Jalan Diponegoro Padang, Sumbar, mengaku hanya ingin membantu masyarakat jelang Lebaran. Ia tidak terlalu hirau dengan imbauan MUI.

BI sendiri mengaku tidak bisa mengontrol banyaknya para penjual uang yang marak dan mengeruk peluang menjelang Lebaran. Ronald Waas mengungkapkan bahwa tidak ada Undang-Undang (UU) yang melarang hal tersebut.

Namun, BI Jabar mendukung imbauan MUI Jabar kepada masyarakat agar meninggalkan praktik menukar uang di jalanan yang sarat riba.

“Kami setuju dan mendukung sikap atau pernyataan MUI tersebut.Kami sendiri sudah melarang aktivitas tersebut dilakukan dijalan-jalan sekitar kantor BI.Masyarakat diharapkan mematuhinya,” kata Lucky Fathul, Pimpinan BI Jabar, seperti dikuti hidayatullah.com.

Fathul mengimbau agar masyarakat menukarkan uangnya di bank atau kantor BI saja, selain di loket-loket bergerak yang disediakan BI. Menurut Fathul, selain haram, jual beli tersebut juga banyak mudaratnya terutama bagi penukar. Kerugian tersebut antara lain penjual akan menaikan 10% dari uang yang ditukar warga.

Kerugian lain yang disebut Fathul adalah kerawanan beredarnya uang palsu atau rusak, di mana BI tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Juga, rentan terjadinya manipulasi uang (kurang hitungan). [AND/dari berbagai sumber]


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *