Aku dan Ibukota

Kriiiinngg…. Kriiingg..detik demi detik, jam yang terus berganti dan hari yang terus terlalu. Setelah sekian lama akhirnya ponsel odong-odongku pun berbunyi. Setelah beberapa hari di tinggal oleh Sibiru, tidak ada deringan lagi yg terdengar. Tidak ada ping-an ataupun line-an. Yang ada hanya Siodong yg diam dan aku yg menunggu bagaikan tukang pancing menunggu ikan yang tak tau kapan akan memakan umpannya. Begitu juga dengan Siodong yang ngak tau kapan akan berbunyi.

Setelah penantian panjang akhirnya Siodong pun mengedipkan cahaya kehidupannya dan mulai berbunyi seperti teman-teman pada umumnya. Tanpa panjang kali lebar kali tinggi bagi dua,akupun langsung meloncat kearah Siodong dan mulai mengangkat dan melihat nama siapa yang menjadi panggilan masuk di sana. “etek ria”nama yg tertulis dilayar Siodong. Kekecewaanpun menghampiriku. Berat hati memang mengangkat Siodong.Namun apalah daya, harusnya aku bersyukur karna setelah sekian lama akhirnya Siodong pun berbunyi.

“Halo,assalamualaikum etek..ba a kaba kini?? Lai sehat??”ucapku dengan basa basi ala orang minang.”yo.. Waalaikumsalam,alhamdulillah lai sehat. Oh yo sa, jadikan pai k siko bisuak.” Aku sempat ragu untuk menjawabnya tapi mau gimana aku harus kesana,duh ini gara-gara sibiru rusak ni,makanya aku harus mencari pengganti si biru.”iyo tek,” jawabku singkat. “kok mode itu,rabu barangkek yo ka siko. Soalnyo tiket lah diambiak rabu.”sahut tante ku dan itu membuatku kaget. “mmmzzz kok cepat sekali tek?? Risa kan udah lama ngak pulang kampung jadi risa mau pulang kampung dulu dan setelah itu baru risa ke sana ya tek. Risa mau puasa pertama di rumah sama mama dan papa”jawabku. Namun hanya jawaban yang menyedihkan yang aku dengar. Jawaban yang membuat sungai yang tadinya kering menjadi berair bahkan banjir. Perasaan yang tadinya di tumbuhi oleh bunga-bunga sekarang menjadi tandus bahkan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Setelah telpon di tutup. Aku terdiam untuk beberapa saat. Air telah membasahi baju dan selimut kitty yang aku pegang. Aku menangis terisak-isak. Air yang keluarkan tidak bisa aku bendung lagi. Sehingga itu membuat sahabatku fitri menjadi cemas dan sesekali menepuk pundakku dan kemudian memelukku. Pelukakn yang membuatku makin meneteskan air mata sehingga tak ada kata lagi yang keluar dari mulutku.

Setiap menit, detik fikiranku tak lepas dari hal itu. Bahkan saat senyuman mulai menghiasi wajahku , hal tersebut masih teringat bagiku. Rasanya tidak rela karna harus puasa di tempat yang jauh dari keluarga. Apalagi aku tidak kuat membayangkan ,jika aku harus lebaran disana juga. Sungguh hal yang berat. Namun, karena kebesaran ALLAH SWT,kecemasan dan kegalauanku sedikit berkurang.

Kini pesawat telah mendarat, aku tak lagi ada di kampung halaman tapi sekarang ibu kotalah yang menjadi tempat tinggalku. Hari pertama di sini aku mersa biasa saja. Tak ada hal spesial bagiku disini. Kehidupan disini sama saja dengan kehidupan dikampuang halamanku. Ini terjadi untuk beberapa hari kedepannya. Hingga satu ramadhan datang, bagaikan pembeda dalam kehidupanku.

Angin syurga datang lagi dalam kehidupanku. Ini adalah sebuah anugrah yang besar karena tak semua orang di beri kesempatan untuk bertemu nulan suci ini. Dan aku adalah salah satu orang yang berumtung karna dapat bertemu dengan bulan yang penuh rahmat dan berkah ini. Ntah tahun besok aku masih di beri kesempatan. “Mmzz … Allah lah yang maha tau segalanya”, aku hanya bisa memohon agar bisa di pertemukan lagi dengan ramadhan indah tahun besok.

Aktivitas pertamaku di awal bulan ramadhan adalah berbisnis. Hehehe.. Alias jualan. Tanah abang merupakan pusat grosiran terbesar dan terkenal di indonesia. Di sini semua barang-barang di jual dengan harga yang cukup ekonomis apalagi dengan model yang sangat menarik dan tidak kalah dengan model-model baju mahal yang ada di mall.

Disinilah aku bekerja. Dengan modal suara,dan juga model dari produk yang akan kita jual, penjual disini harus bisa menarik para pembeli yang berlalu lalang. Dan itu bukan hal yang mudah,apalagi di kondisi kita sedang berpuasa, ditambah lagi dengan cuaca yang panas membuat iman menjadi agak tergoyah. Ya gimana tidak, setiap pembeli yang lewat , tak ada satupun yang perpuasa. Mereka semua membawa minuman ditangan mereka. Dan minuman itu bukan mereka bawa dari rumah mereka. Melainkan dibeli ke pedagang kaki lima yang kerap berkeliling di pasar. Dan tak jang mereka minum dan makan didepan umum layaknya hari biasa. Ironis memang, bayangkan saja bulan suci yang hanya datang satu kali setahun, malah tak dianggap seperti itu.

Berbeda  sekali dengan suasana ramadhan dikampung, yang memang semua orang menjalankannya dengan usaha-usaha yang mendekatkan diri kepada-NYA. Mereka yang tidak berpusa, selalu menghargai mereka yang perpusa. Tidak ada yang makan minum sembarangan. Dan suasana itu yang aku rasakan selama bertahun-tahun. Jadi melihat kondisi Ibu kota yamg seperti itu, membuatku berfikir “apa benar aku tinggal di negara yang berbudaya sopan santun dengan sikap saling menghargai?? dan apa benar di sekitarku adalah saudara-saudaraku yang tengah berada di jalan-NYA??” ataukah ini semua sudah takdir dari-NYA?? Mmmzzz.. entahlah hanya DIA yang tau”. Tapi dari semua itu aku berharap semoga saja ini tak berlangsung lama dan aku juga berharap semoga kedatangan ramadhan berikutnya lebih spesial baik itu di kampung ataupun di Ibukota. Dengan membangkitkan sifat indonesia yang toleran dengan semua orang  dan kebudayaan sekitar, terutama dalam beragama. Bukan hanya muslim dengan muslim, non-muslim dengan sesamanya tapi juga muslim dengan non-muslim.”amin..!!”

Oleh: Anisa Aulia

Dari: Padang, Sumatra Barat

kontes cerita ramadhan emir


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *