Warung Perubahan
Oleh: Nawawi Efendi
“Aku risih dengan warung-warung yang buka itu,” kata Doni tegas.
“Maksudmu?” tanyaku menyela.
“Ya itu kan tidak menghormati orang-orang yang sedang berpuasa.”
“Tapi mereka makan sambil menutup tirai warung dan orang-orang yang di luar tidak bisa melihatnya,” jelasku memahamkan.
“Tetap saja mereka tidak tahu aturan,” jawabnya seraya pergi berlalu meninggalkan aku sendiri di depan rumahku.
Aku tidak tahu mengapa Doni begitu membenci orang yang tidak berpuasa. Bukankah itu pilihan mereka untuk tidak menjalankan kewajiban agama ini. Tahun lalu juga begitu. Ia sering mengungkapkan kata-kata kasar tiap melihat orang yang makan di warung saat bulan Puasa. Tetapi ia juga sedikit takut mengatakannya secara langsung. Akhirnya akulah yang menjadi sasaran kemarahannya. Aku hanya bisa diam dan menjawab sekenanya.
Aku pernah menghadiri sebuah pengajian. Kata sang ustadz, “Kita seharusnya mengajak orang yang melakukan kemaksiatan pada jalan yang baik, bukan malah menghardiknya.” Pesan itu yang sampai saat ini melekat di benakku. Itulah juga yang membuatku berbeda pendapat dengan Doni.
Doni memang terkenal keras. Mungkin karena pengajian kami berbeda. Ia pun enggan menghadiri pengajian langsung, tetapi cukup menonton tayangan di media sosial. Itulah yang membuatnya banyak salah paham terhadap cara beragama yang benar.
Seminggu kemudian, aku pergi ke rumahnya. Saat itu ia sedang duduk di depan rumah sambil memegang HP-nya. “Lagi ngapain?” tanyaku.
“Biasa. Ngaji online. Coba dengar nih, kata si ustaz barangsiapa melihat kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangannya,” katanya dengan semangat.
“ Ya, ya aku paham. Tapi itu harus diterapkan dengan ilmu. Bukan asal diamalkan. Apalagi di bulan puasa ini, kita wajib menjaga emosi. Jangan karena niat dakwah, niatnya bukan karena Allah, tapi karena yang lain. Kita harus …”
Belum selesai aku bicara, ia langsung menyela,” Sudahlah. Kita memang beda pemikiran. Gak bisa sependapat.” Ia tertawa ringan dengan sedikit ketus.
“Kamu gak ikut aku mancing sore ini?” ajakku basa-basi.
“Nggak ah. Males. Memangnya puasamu gak batal kalo mancing?”
“Maksudmu?” tanyaku heran.
“Kan kasian ikannya kena kail lalu terluka. Itu mengurangi pahala puasa lho.”
“Ya tidaklah. Ikan diciptakan memang untuk dimakan. Dan salah satu cara menangkapnya ya dengan pancing. Masa mau ditangkap langsung dengan tangan. Jika pun demikian, bukankah nanti juga tersakiti karena mati kekurangan air atau masuk ke dalam minyak panas.”
Doni menepuk pundakku pelan. “Ah jangan diambil serius gitu dong. Aku juga sudah tahu. Oke, untuk saat ini aku nggak ikut dulu. Masih asyik dengan kajian ini.”
Sejak saat itu aku tidak lagi berhubungan dengan Doni. Apalagi setelah aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Komunikasiku dengannya hanya lewat HP. Itu pun hanya soal mengomentari status di media sosial. Aku tidak tahu Doni melanjutkan kuliah di mana. Tapi yang aku pahami sepertinya ia semakin menjauhiku.
Saat aku memposting videoku sedang bernyanyi sambil pegang gitar, komentarnya di media sosialku sungguh tak kusangka. “Musik itu haram. Hati-hati sobat!” begitulah komentar yang ia tulis. Aku tidak banyak mengomentari. Biarlah penonton dan teman-teman yang lain yang menanggapinya. Pikiranku berkecamuk. Jika musik itu haram, maka HP-ku ini adalah barang haram karena nada dering, radio, alarm, semuanya kan menggunakan irama tertentu.
Setahun berlalu aku pun pulang kampung saat liburan semester di kampusku. Satu hal yang mengejutkanku saat aku pergi ke rumah Doni. Ia saat ini sudah menjadi seorang ustaz. Ya, ia memiliki beberapa jamaah pengajian rutinan tiap hari Jumat. Saat itu ia sedang memberi kajian pada jamaahnya, “Jadi, kita harus memegang erat ajaran Islam. Maka orang-orang yang tidak berpuasa itu mereka melakukan kemungkaran di bulan suci. Mereka harus segera disadarkan.”
Aku hanya bisa diam di depan rumahnya sambil mendengarkan ceramahnya. Ia mungkin tidak tahu kedatanganku.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan, ustaz?” tanya salah seorang jamaahnya.
“Kita harus bertindak,” jawab Doni, “Besok kita akan ke warung-warung di kampung. Kita adakan sidak. Orang-orang yang makan di warung itu kita usir keluar biar ketahuan bahwa mereka tidak berpuasa.”
“Setuju ustaz,” sahut jamaah yang lain. “Bagaimana teman-teman? Setuju?”
“Setuju,” jawab semua jamaah yang hampir memenuhi ruang tengah itu.
Setelah mengetahui rencana itu, aku pun langsung pulang tanpa menemui Doni. Aku khawatir tidak bisa menahan emosi jika berdebat dengannya tentang masalah ini lagi. Apalagi saat ini ia sudah memiliki kedudukan seorang ustaz di hadapan jamaahnya.
Sehingga pada keesokan harinya, rencana itu pun benar-benar dilakukan. Mereka memasuki warung-warung lalu mengusir orang-orang yang sedang makan di sana. Hatiku terbakar. Aku pun menerobos orang-orang yang berkerumun di warung itu. Lalu aku merampas kayu yang dipegang Doni. “Doni, sadarlah ini aku, Irwan, temanmu.”
“Iya aku tahu, memangnya kenapa?” bentaknya.
“Kau menumpas kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih buruk. Kita tidak tahu. Bisa jadi yang ada di warung ini tidak berpuasa dengan alasan tertentu. Bisa jadi salah satu dari mereka sedang sakit atau sedang dalam perjalanan. Bukankah ada keringanan untuk tidak berpuasa dengan alasan itu?”
“Lalu maunya kamu apa? Hah!?” bentak salah satu jamaah Doni.
“Jika kalian mau berdakwah, pakailah cara yang sekiranya orang yang didakwahi itu tidak tersakiti baik perasaannya maupun fisiknya. Mengusir orang dari warung ini sudah sangat keterlaluan.”
Di tengah kerumunan orang yang semakin sesak itu, tiba-tiba datanglah Kiai Ahmad. Beliau kiai yang sangat disegani banyak kalangan di kampunku. “Ada apa ini?” tanya Kiai Ahmad.
“Begini, Kiai,” kataku, “Ini ustaz Doni dan jamaahnya menggeruduk warung yang buka dan mengusir orang-orang yang ada di dalamnya.”
“Betul, ustaz Doni?” tanya Kiai Ahmad.
“Iya Kiai.” Doni hanya tertunduk malu.
Sepuluh tahun yang lalu, aku dan Doni adalah murid Kiai Ahmad. Dari beliaulah kami bisa membaca Al-Quran dan menghafal surat-surat pendek. Wajarlah jika ustaz Doni sangat menghormati beliau.
“Jadi begini,” jelas Kiai Ahmad, “Orang yang tidak berpuasa Ramadan itu memang sebuah kemungkaran jika tidak ada halangan. Sebagai orang muslim kita harus husnudzzon, berprasangka baik pada sesama muslim. Orang yang makan di warung ini bisa jadi karena ia sakit dan di rumah tidak ada yang memasakkan makanan. Bisa jadi juga karena dalam perjalanan. Tidak bisa kita main pukul rata.”
Semua orang terdiam. “Bagaimana dengan orang yang buka warung, Kiai?” tanya salah seorang wanita.
Kiai Ahmad mendekati Ibu Minah, penjaga warung itu. “Ibu, kenapa Ibu membuka warung di siang hari bulan Ramadan?”
Wanita paruh baya itu pun terdiam seraya menunjuk kedua anaknya yang ada di belakangnya. Seketika itu tangisnya terisak, “Wahai Kiai, dan kalian semuanya, coba perhatikan kedua anakku ini. Dengan keadaan saya sebagai janda dan tak punya penghasilan kecuali dari warung ini, dari mana lagi saya harus menghidupi mereka?”
Setelah itu, seorang lelaki berbaju merah menyela percakapan mereka. “Apa yang Kiai Ahmad sampaikan itu benar karena saya sendiri yang makan di warung ini saat ini karena saya baru datang dari luar kota. Dan saya tidak berpuasa karena jauhnya perjalanan. Di rumah juga tidak ada makanan makanya saya cari warung.”
Saat itu juga tiba-tiba seorang wanita menyelinap di tengah kerumunan yang membuat ustaz Doni terperanjat. “I, Ibu, mengapa Ibu ada di sini?”
“Eh, Doni. Saya mau ke warung Bu Minah ini untuk membeli nasi buat adik-adikmu. Kebetulan nasinya habis tadi buat makan sahur dan Ibu nggak sempat mananak lagi. Kamu sendiri mengapa ada di sini? Terus, kenapa orang-orang berkerumun?”
Ustaz Doni tidak menjawab apapun. Kini, kepalanya semakin menunduk.
Kiai Ahmad memegang bahu kanan ustaz Doni, “Bagaimana ustaz Doni, apa pendapat Ustaz setelah mendegar dan mengetahui semuanya ini?”
Dengan terbata-bata, ustaz Doni berkata, “Pada semua orang yang ada di sini, saya atas nama Ustaz Doni dan orang-orang yang bersama saya, mohon maaf atas kekhilafan saya. Pada orang yang saya usir dari warung. Pada Bu Minah dan semuanya. Khususnya lagi pada sahabat saya, Irwan.” Ustaz Doni menunjuk kepadaku. “Semoga ini menjadi pelajaran bagiku untuk lebih belajar lagi tentang agama, tentang kehidupan.”
Ternyata untuk mengubah seseorang tidak cukup dengan kata-kata, tapi juga dengan peristiwa dan kejadian berkesan. Dari warung Ibu Minah itulah, pemahaman dan karakter ustaz Doni berubah. Lebih memahami agama sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ramadan ini adalah Ramadan perubahan bagiku sehingga aku dan sahabatku, ustaz Doni bisa kembali akur dan bersatu sebagai seorang sahabat.
Identitas Penulis
Nama : Nawawi Efendi
Alamat : Jl. KH. Abd. Rahman Rt./Rw. 003/005. Tempurejo Jember Jawa Timur 68173
No HP : 081287937336
E-Mail : masnaw86@gmail.com
No Rekening : 7167937211 Bank Syariah Indonesia
a.n. Nawawi Efendi