Cawan masih penuh pasir saat kedua benang belum terwujud.
Benang putih juga benang hitam, ibu menggunakannya untuk menjahit,
Celana bapak berlubang selebar daun kelor.
Beralih fungsi dua benang menjadi kompas waktu.
Perjalanan baru dimulai….
Ada ikan ayam dalam baskom,
Nasi segunung dan sayur hijau menyatu.
Kata nenek menjadi syarat agar langkah kami tidak goyah,
Selalu semangat sampai 30 langkah kedepan.
Perjalanan baru selangkah….
Tiada ingar-bingar asap dibelakang rumah-rumah,
Tapi riuh gemuruh anak kecil selepas subuh.
Kala duha tiada insan hendak merapat,
Mereka terlelap dengan tali erat di perut.
Dasar cawan terlihat putih cemerlang.
Perjalanan belum usai….
Tujuh langkah berjalan,
Napas tersengal ingin meraih es di tremos.
Tak ada lagi sandang yang dijaga rapat,
Sudah merasa alim dan patut masuk surga.
Perjalanan akan bertemu muaranya….
Terlupakan semua niat-niat yang membusung,
Bertalun rindu kubah yang lengang.
Terbirit malaikat mencipta sendu di mata,
Kembali lagi mencececap pahit di lidah.
Cawan kembali terisi butir-butir pasir.
Tidakkah kau inginkan nirwana, wahai?
Seharusnya tetap kau ikat tali yang kuat di perutmu,
Sampai cawan itu tidak hanya bersih melainkan juga memberimu air untuk melepas dahaga
(Jember, 5/4/20)