Sejak jauh hari, al-Gazali berkata, “kerja seorang guru tidak ubah seperti kerja seorang petani yang senantiasa membuang duri serta mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanamannya.”
Bohong rasanya jika tak ada satu orang pun tak pusing ketiban wabah corona. Siapa pun Anda, pekerja kantoran, pedagang, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, (apalagi) guru. pasti pusing dibuatnya. Tidak dimungkiri, wabah Covid-19 nyata telah banyak mengubah laku hidup kita. Mendadak lalu kita bersahabat dengan istilah Lockdown, WFH, LFH, PSBB, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu lalu menjelmakan dirinya sebagai bagian ‘penting’ dan ‘baru’ dalam hidup kita: New Normal.
Mendampingi anak-anak learning from home misalnya, tentu sangat memusingkan karena kita pun harus melakukan kegiatan work from home dalam waktu yang bersamaan. Walhasil, dalam satu hari, orangtua harus berbagi tugas antara pekerjaan kantor sekaligus mendampingi anaknya mengerjakan setumpuk tugas yang diberikan oleh gurunya. Bahasa Indonesia, Biologi, IPS, atau matematika yang entah kapan terakhir anda belajar Kelompok Persekutuan Kecil dan Faktor Persekutuan terbesar.
Wabah Covid-19 jelas menuntut energi dan kemampuan kita dua kali lebih besar bahkan lebih dari biasanya. Positifnya apa? Jelas selalu ada sisi positif dalam setiap hal. Apalagi yang namanya: ‘kesusahan’. Al-Qur’an bahkan menyebutnya sebanyak dua kali pada ayat 5 dan 6 surah Al-Insyirah: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” Kemudahannya apa? Salah satunya kemudahan berupa kesempatan untuk mengembangkan diri, memperbaiki diri? Mungkin juga. Seseorang yang enggan berurusan dengan dunia maya, mau tidak mau, sudi tidak sudi mesti belajar semua itu.
Lalu bagaimana dengan kondisi para sahabat kita yang berprofesi sebagai guru beneran? Untuk para guru. Kalian tentu insan paling luar biasa, bahkan jauh sebelum kondisi kita dipaksa seperti ini. Guru tidak ubah petani, begitu kata al-Gazali. Tentu, dalam kondisi seperti ini dapat dibayangkan, betapa ribetnya tugas seorang guru. Mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan peserta didiknya harus rela hanya dapat menatap mata mereka melalui jaringan daring seperti aplikasi zoom, google duo, atau aplikasi lainnya. Para guru pun harus menyiapkan materi dan penilaian materi pelajaran melalui youtube dan google classroom. Tentu, bagi sebagian banyak guru di negeri ini, semua itu hal yang benar-benar baru dan merepotkan.
Kebaruan ‘yang merepotkan’ ini tentu menyulitkan bagi para guru kita. Tugas mencerdaskan bangsa di dalam kelas saja sangat melelahkan, apalagi harus berjibaku dengan setumpuk pekerjaan rumah yang tak kunjung usai. Ditambah semua anggota keluarga ada di rumah. Tentu, Pola makan, pola tidur, pola komunikasi, dan pola bermain dalam keluarga berubah total. Sebentar-sebentar makan, sebentar-sebentar jajan, dan lain sebagainya.
Virus bernama Corona benar-benar telah membungkam keponggahan seluruh umat manusia. Marilah, dalam jarak sudut ponggah yang benar-benar sudah merapat, pastikan kita semua dapat berbuat sebaik yang bisa kita lakukan. Kondisi buruk ini jangan sampai membuat kita terpuruk, parno, dan stres. Mari ambil positifnya. Lahap saja itu buku-buku yang lama jadi pajangan ruang tamu, rajin-rajinlah bersih-bersih kamar mandi, mencuci tangan, bersih-bersih halaman, berjemur, bersepeda, atau bermain musik. Dalam kondisi ini juga, saatnya orang tua mengambil peran sebagai role model dengan intensitas tinggi karena banyak waktu bersama di rumah.
Para orang tua (yang mendadak guru), para guru (termasuk pengelola sekolah) tentu harus bersabar dan rajin-rajin mencari solusinya masing-masing karena sejauh ini rasanya belum banyak yang diberikan oleh pemerintah kita (baca: kemendikbud) untuk mengatasi problem belajar-mengajar di tengah wabah ini. Baiklah, kita jangan banyak mengeluh. Sambil menunggu aba-aba terobosan baru “merdeka belajar” dari Mas Menteri yang sampai saat ini belum terlihat “hilal”nya, mari semua pihak bersinergi menciptakan iklim baik untuk pendidikan Indonesia, dan marilah kita mulai dari bangunan surga bernama: rumah.
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Ki Hajar Dewantara, []