Kerumunan
Dea saudariku membawakan beberapa tampah bambu. Ibu menyuruhnya untuk menampi beras yang baru saja Bapak beli di pasar. Kata ibuku beras itu nantinya akan disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Tangan Dea sigap melempar-lempar beras, aku memperhatikannya. Sesekali dia melotot ke arahku. “Bantuin sono, liatin doang lu,” sinis Dea, aku balas dengan cekikikan.
Pagi tadi Bapak sengaja membangunkanku lebih awal untuk menemaninya ke pasar. Di tengah kerumunan Bapak membelah jalan agar kami bisa lewat. Pasar di pagi hari seperti pusat kota, ada siapa saja, ada apa saja. Penjual menjajarkan dagangan di tanah, ikan-ikan segar masih hidup di kolam, sayur-mayur dijual dengan harga lima ribu. Di antara mereka yang tidak puasa, ada yang santai makan di pinggir jalan. Aku menelan ludah mendengar Bapak dirayu.
“30 ribu Pak, buat Bapak doang, yang lain ngga saya kasih segitu.” Mbak itu memasukkan buah ke kantung plastik.
“25 lah Mbak, saya beli 5 kilo.” Bapak mengeluarkan dompetnya.
“Dari sana ngga dapet Pak, mentok.” Disodorkan kantung itu ke Bapak. Bapak pasrah. Dari dulu juga dia tidak pandai menawar, paling banyak turun dua ribu, nah ini asal goceng. Hahaha, aku menertawakan Bapak dalam hati.
Sudah dapat buah, aku senang. Buah akan jadi es campur, es kesukaanku, kesukaan Dea. Dea satu gelas, aku lima. Toh aku yang kepanasan di pasar nahan haus begini, dia tinggal mengupas ‘kan? Kalau sampai dia ambil jatahku, kugetok tangannya, awas aja.
Setengah hati aku mengikuti Bapak, dari penjual sini ke penjual sana, Bapak tidak menemukan apa yang dia cari. “Harganya belum pas, Dek,” jawab Bapak setiap kali aku mengeluh. Jagung ya sama-sama jagung, apanya yang beda? Paling beda harga tiga ribu. Duh Bapak, sok mengerti harga, mengerti kualitas. Tangannya sibuk membolak-balik jagung. Alisnya tampak berkerut, Bapak sedang berpikir. “Dek, kalo beli ini Ibu marah enggak ya?” pertanyaan Bapak membuatku pusing. “Yoo mana mungkin Ibu marah, Pak.” Aku menarik tangannya. “Cepat Pak, cepat.” Bapak kewalahan melihatku ingin menangis. Aku tidak sabar pulang ke rumah, capek.
“Sebentar lagi Dek, sabar dulu.” Sebentar terus, dari tadi disuruh sabar. Kakiku panas berdiri. Bapak ribet, apa enggak paham kalau aku sudah lelah? Tanganku menggenggam kantung erat, mau aku robek lalu lempar isinya. Kulihat Bapak masih sibuk menawar.
“Pak!” Aku berteriak, kulempar kantung plastik itu. Sekarang Bapak menatapku, matanya melotot. Bapak menggenggam tanganku erat. Dia berbisik, “Enggak tahu malu ya kamu, Dek!” Setelah membayar jagung kami segera pergi dari pasar. Di perjalanan pulang jelas saja Bapak tidak berhenti mengoceh, semuanya dipermasalahkan. Aku menutup telinga rapat-rapat, tidak mau jadi semakin pusing dan emosi.
“Bu! Bu! Anakmu ini loh Bu, belanjaan asal dilempar, teriak-teriak enggak tahu malu!” Bapak membanting pintu rumah. Kulihat Ibu kaget, wortel yang tengah dipotong terlempar mengenai Dea. Haha, rasain Dea! Enak sekali duduk menonton televisi sementara aku meladeni Bapak dengan terus sabar.
“Kenapa toh, Pak?” Ibu bangun meraihku. Dari baru sampai rumah hingga masuk, aku terus dijewer Bapak. “Kasian Pak, sudah jangan dijewer lagi,” pinta Ibu. “Biar tahu rasa Bu! Tahu malu! Tahu adab ke orang tua!”
“Kasian Pak, masih bocah.”
Dea cengengesan melihatku, dengan tidak bersuara dia berkata, “Hahaha, copot kuping lu!” Mau kutonjok rasanya muka Dea. Untung saja Bapak langsung masuk kamar, aku tidak mau mendengar tausiahnya sampai waktu berbuka nanti, bosen!!
Ibu kembali memotong wortel. “Heleh heleh… Kamu Dek! Ada-ada saja, buat darah bapakmu naik tuh!” Kata Ibu sambil tertawa kecil. “Bapak Bu, kaki anaknya udah mau copot masih aja nawar-nawar.” Aku mengambil remote di meja, mengganti saluran TV. Dea merebut remote itu, aku menepis tangannya.
“Dateng-dateng ganggu orang aja ya lu! Balikin sini remote gua.” Dea menendang kakiku, “Gantian lah, udah puas lu dari pagi.” Gambar di televisi menunjukkan kerumunan orang berdesakan di pasar, saling mendorong dan tidak ada yang mau mengalah. Dari arah mana pun terdengar suara riuh. Anak kecil merengek, orang tuanya yang marah, penjual plastik sibuk meneriaki dagangan. Ditambah jalanan becek membuat air menciprat ke baju.
“Ibu tadi Dedek kaya begitu tuh Bu, Bapak ngga paham.” Aku menunjuk gambar kerumunan. “Biasa lah Dek, namanya pasar. Apalagi di Bulan Ramadhan, makin rame.” Dea manyun-manyun. “Kamunya yang lebay, Dek.” Langsung kutimpuk Dea dengan bantal.
“Liat tuh Kakek-kakek jualan plastik sabar, semangat padahal lagi puasa. Lah kalian, malah ngedumel disini.” Sekarang gantian Ibu yang menunjuk penjual plastik di TV. Memang aku kasihan dengan Kakek itu sih, kelihatan lelah sekali. Tapi tetap saja aku tidak bisa disamakan dengan penjual plastik!
“Beda Bu, aku masih bocah.”
“Ya makanya masih bocah harus semangat! Boleh mengeluh sedikit, tapi kalau sampai melempar barang itu apa toh?” Ibu menyentil dahiku.
“Masih mending aku, Dea tuh Bu, tiduran seharian.” Aku masih ingat es buah, Dea satu gelas, aku lima!
Ibu memasukkan buah yang tadi kubeli ke dalam kulkas. “Sekarang malah saling nuduh.”
Sebenarnya dalam hati aku menyesali perbuatanku. Tidak seharusnya aku melempar makanan apalagi di tengah keramaian, pasti Bapak malu. Aku melihat kamar Bapak yang masih tertutup, biasanya Bapak sedang mengaji. Aku teringat dengan ajakan Ibu tadi malam, katanya nanti sore kami akan pergi ke jalanan, membagikan makanan. Aku masih malu untuk bertemu Bapak…
“Bu, nanti sore jadi kah?” tanya Dea sembari menampi beras.
“Jadi dong, kalian jangan tidur lagi makanya nanti kebablasan.” Ibu masih sibuk menyiapkan Buah dan makanan yang akan dibagi nanti. Sementara aku menatap televisi, aku masih ragu untuk ikut atau tidak, aku takut sama Bapak.
Selesai menampi beras Dea memasukkannya ke dalam panci, Ibu akan menimbang nanti. Aku dan Dea bersiap, kami mandi terlebih dahulu kemudian salat. Suara dari televisi terus mengingatkanku kejadian di pasar. Aku betul-betul takut pada Bapak, aku juga malu untuk meminta maaf.
Jam 4 sore, kami semua berangkat. Aku dan Dea masih berselisih tentang bajuku yang dia kenakan tanpa izin. Tadi Dea diam-diam masuk kamarku, dia sering seperti itu, aku tidak suka. Mendengar perdebatan kami Bapak tampak semakin marah kepadaku, “Dek, baju doang loh! Pelit banget sih sama Kakaknya, biar lah dipinjam dulu,” kata Bapak setengah berteriak. Aku nurut.
Sampai disana kami membagikan makanan pada orang di jalan. Benar kata Ibu, berbagi membuat kita menjadi tenang. Rasa takutku pada Bapak berkurang. Makanan itu dibagikan pada pedagang, pengendara, juga anak kecil yang sedang bermain. Ntah kenapa aku tidak lagi mempermasalahkan rasa capek di pasar tadi, melihat orang lain senang membuatku bahagia. Apakah Bapak merasakan yang sama?
Kami semua sibuk membagikan es buah, beras, dan makanan lain, tidak ada waktu bagiku dan Dea untuk bertengkar. Pun Ibu sibuk dengan kenalannya, mereka yang biasa diberi makanan. Bapak tersenyum, beda sekali dengan yang tadi. Tapi senyum itu untuk yang lain, jelas masih marah padaku.
Di sudut jalan ada seorang Kakek tua menggendong anak kecil. Anaknya masih kecil sekali, aku iba. Kuberikan makanan itu kepada mereka. Anaknya tampak senang, dia berlompatan ke arah Bapaknya. Senyumnya membuatku khawatir. Aku tidak bisa seperti itu ke Bapak. Bapak sangat marah, aku takut. Kuelus pipi anak itu, lucu sekali, ingin kucium rasanya. Tiba-tiba saja ada yang mengelus pipiku juga. Aku menoleh, itu Bapak. “Anakku juga lucu sekali,” ujar Bapak. Aku kaget, kok bisa ada Bapak?
“Anakku paling lucu sedunia.” Bapak menggendongku, membawaku kembali. Betul kah ini? Bapak tidak marah lagi? Aku bingung harus apa, sepanjang jalan aku hanya tersenyum senang. Semuanya seperti sudah kelar, aku merasa tenang. Bapak terus mengelus pipiku, membetulkan rambutku. Jika aku masih sekecil anak tadi, pasti aku sedang lompat-lompatan juga.
Kejadian di pasar tadi, Bapak sudah lupa? Tidak mungkin, aku kan anak enggak tahu adab. “Maaf, Pak,” kataku.
“Kenapa Dek? Hahaha.” Bapak tertawa seakan tidak terjadi apa pun. Sesenang ini kah rasanya dekat? Aku tidak akan lagi membuka jarak, aku harus jadi anak yang baik, yang tahu adab. Dea, pelukan Bapak lebih kusukai dibandingkan es buah, ambil saja semua jatahku untukmu!
-Tamat-