Ini Ramadhan, Bukan Ra-Madang

(Ini Ramadhan, Bukan Sekedar Tidak Makan)

30 hari pada 3 tahun yang lalu adalah sebuah cerita tersendiri yang berbeda dan memberikan kesan mendalam tentang betapa bulan Ramadhan adalah benar-benar bulan yang membawa berkah dan memberikan sebuah momentum berarti yang tersimpan dalam ingatan hingga jangka waktu yang tidak ditentukan. 30 hari di bulan tersebut terasa bertambah berat. Aku yang saat itu divonis tidak mendapatkan sebuah kesempatan untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri lewat jalur undangan harus menahan rasa lelah dan capai untuk masih terjuang berjuang mempertahankan semangat agar harapku untuk bisa menjadi seorang mahasiswa yang membanggakan orangtua dan keluarga, serta menjadi contoh yang baik untuk adik perempuanku tidak lenyap digulung kekecewaan.

Saat itu, aku ingat sekali, kehidupan masa ramadhanku aku lalui ibarat menjadi seorang musafir. Kehidupan monoton namun kuanggap sebagai buah pembelajaran dari sebuah kelalalian mau tidak mau harus kutempuh untuk menebus sebuah kesalahan dari masa lampau. Bibi selalu membangunkanku di urutan paling akhir disaat sahur karena beliau tahu bahwa aku selalu tidur lelap setelah pukul 1 pagi tepat disamping kumpulan buku-buku tryout dan simulasi ujian masuk perguruan tinggi.

Ketika umurku masih masuk kedalam rentang anak-anak (7-15 tahun) dimana sehabis Sholat Taraweh berjamaah, kami selalu berkumpul di halaman belakang untuk melakukan sebuah ‘ritual’ wajib yang di manifestasikan dalam bentuk kegiatan permainan ‘Kejar – Lari’ (Benteng) antar kampung, kali ini aku harus rela hanya bisa memutar kenangan tersebut sembari berharap, semoga kelak nantinya, anakku masih bisa merasakan sebuah sisi lain dari Bulan Ramadhan ditengah gempa-gempita Generasi Y yang digilai oleh teknologi dan internet.

Jangankan sekedar duduk bersantai di halaman masjid, untuk bertegur sapa dengan kawan lama saja ibarat sebuah hal yang ku nanti-nanti tanpa ku tahu apakah mereka juga merasakan kegelisahan yang sama sepertiku atau justru sebaliknya. Buku, kertas, dan catatan. 3 hal tersebut ibarat teman penghibur senang, sedih, gundah, gulana, lapar, haus, marah, kantuk dan segala kemungkinan-kemungkinan yang manusia normal temukan ketika bulan Ramadhan tiba. Aku yang dari sejak 3 minggu yang lalu sudah melepas status pelajar namun terkategorikan sebagai pengangguran tak terkentara selalu tidak pernah absen untuk mengunjungi tempat bimbel sebagai salah satu ikhtiar dalam memuluskan doa dan harapan, namun paling gentar jika harus menerima ajakan untuk mengunjungi sekolah dalam urusan berkedok alumni. Dan saya merasa pada saat itu belum menjadi alumni yang baik.

Saya membawa segala ‘peralatan tempur’ yang dibutuhkan untuk menaklukan misi-misi dalam 99 hari kedepan. Mulai dari yang masuk akal seperti buku, alat tulis, dan papan belajar, hingga yang tidak pernah terpikrikan dan cenderung tidak masuk ke nalar logika seperti alat-alat mandi, bantal kecil, hingga bekal makanan dan minum yang sudah bibi persiapkan sejak fajar menyingsing. Karena ia sudah memprediksi bahwa aku akan pulang sampai kerumah sebelum isya, mulai dari pukul 10 pagi. Yang terkadang orang lain menganggap saya tidak berpuasa dan sesekali tergoda ketika ada sebuah soal yang sukar untuk dipecahkan. Hal tersebut memang suka membuat gelak tawa pada saat-saat seperti ini. Dimana kita sendiri tidak menyadari bahwasanya kita pernah menjalani satu musim ramadhan yang penuh makna dan menjadi bahan cerita untuk anak cucu tercinta.

Ramadahn tahun itu sudah mau menjelang ujungnya. Minggu ke-3 sudah sayup-sayup melambaikan tangannya dengan menunjukan tanda bahwasanya kita akan sesegra mungkin berpisah dengan bulan yang penuh rahmat tersebut. Bersebelahan dengan hal itu, perjuanganku hampir menuju titik akhir dimana menjadi penentu apakah perjuangan cucuran keringat bercampur romansa puasa pada tahun ini membuahkan sebuah hasil yang positive, atau Tuhan masih belum merestui. Satu per satu test, ujian, atau apapun itu namanya kulewati. Aku mencoba untuk tidak menjadi seseorang yang jumawa dengan gegabah seperti yang kuperbuat pada kesalahan dimasa silam dengan terlalu menebar pesona, namun tanpa adanya sebuah hasil yang setara.

Aku kali ini diam. Mengaktifkan mode introvert, dan mencoba mengamalkan segala bentuk ajaran agama dan mematuhi seluruh perintah Tuhan dan Orangtua. Terutama kepada Ibu. Karena aku percaya bahwa segala ridho Tuhan, berasal darinya. Disaat yang lain sedang asyik menikmati secangkir minuman dingin dikala panas terik bulan Ramadhan dan ketika ditanya mengapa engkau sampai tega hati untuk tidak menahan haus dan lapar disaat seperti ini dengan alasak klasik mereka menjawab “Tenang, Tuhan itu Maha Pengampun kok”. Aku tak bergeming dan terus meluruskan niat tanpa pernah merasa sedikitpun tergoda dengan hal yang bersifat duniawi. Karena aku percaya, dibalik sebuah badai, ada pelangi indah yang siap menanti.

Berjuang sudah, memanjatkan doa tidak kunjung henti, berikthiar dan melaksanakan anjuran-anjuran agama yang bersifat sunnah seakan menjadi kewajiban yang telah terlaksana. Waktunya memetik buah telah tiba. Manis atau pahit, itu urusan kedua. Dan pada menjelang-menjelang pengumuman, aku berpamitan dengan kedua orangtua untuk lebih memilih tinggal di rumah nenek dengan harapan, situasi yang tenang bisa lebih membuat diriku menjadi siap dengan apapun hasilnya. Sambil menemani curhatan beliau yang tak pernah henti untuk menceritakan bagaimana rasa kasih sayang dan cinta yang beliau curahkan untuk merawat diriku ketika keluarga kami masih sangat premature dalam hal ekonomi, dan umurku yang tergolong masih bayi.

Detak jantung seakan terus berdetak cepat, dan parahnya aku tidak merasakan lagi yang namanya haus dan lapar bahkan ketika adzan maghrib sudah lewat 10 menit dari waktu normal hingga nenek menyuruhku untuk segera berbuka dan membatalkan puasa. Malam itu, pengumuman dua hasil yang selama ini kuperjuangkan. Sebenarnya, hasil sudah muncul sejak pukul 5 sore. Namun keluarga kami sudah membuat perjanjian bahwa tidak ada yang boleh membukanya sebelum kami berkumpul diruang makan dalam acara guyub rukun keluarga Sanjaya.

Langkah kaki ku terasa berat hingga semua tiba di kediaman nenek untuk menunggu moment yang mungkin sekali dalam seumur hidup. Semua berkumpul dan bertindak hikmat. 1, 2, 3, 4, dan dihitungan kelima, kami semua membuka dua portal yang berbeda. Dan Alhamdulillah tidak disangka, Saya berhasil lolos dan dua test di dua perguruan tinggi ternama di Indonesia. Lalu, nikmat Tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan?

Oleh: Irvandias Sanjaya

Dari: Duren Sawit, Jakarta Timur

Irvandias Sanjaya


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *