Iktikaf
Suara menggema dari masjid terdengar cukup jelas dariku yang hendak melipir ke sana. Lantunan ayat suci Alquran, raungan bocah yang berlarian saling mengejar, dan bincang-bincang golongan remaja dan orang tua memeriahkan suasana iktikaf.
Aku duduk di bawah baling-baling kipas yang menjuntai sambil mengirim embusan sejuk ke sekeliling. Rama, pemuda sepantaran yang sedikit tambun, tengah berzikir di sebelahku. Tangan kananku spontan menjulur ke arahnya. Melihat dia sangat teguh kala berzikir, sungkan rasanya untuk bersalaman. Tak disangka, dia menyambut jabatku.
”Dari mana aja, cuy? Baru kelihatan,” tanya Rama.
”Yang ada elu tuh baru kelihatan!”
”Hehehe… Biasalah cuy, banyak kerjaan,” jawabnya dengan wajah polos tak berdosa.
Posisiku sudah mantap dan nyaman. Waktunya membaca Alquran yang terjaga rapi di saku kaus poloku. Ayat demi ayat berlalu. Tak terasa sudah satu jam lewat begitu saja.
***
Aku menyeduh kopi instan yang tersedia di pojokan surau. Di dekat sana terdapat pria paruh baya–mungkin sekitar 70 tahunan–dengan suara berat dan serak melantunkan ayat-ayat Alquran. Terasa semangat yang tak kenal lelah dan ampun itu. Entah sudah berapa lama beliau membaca. Namun, sejak aku hadir, suara beliau sudah mengisi suasana.
Kopi sudah jadi. Aku kembali ke tempat. Aku menuangkan air panas terlalu banyak tadi, terpaksa kopi tersebut harus didiamkan hingga sedikit menghangat. Sekelebat suara memecah hening dalam kepala. Aku menoleh mencari asalnya. Terlihat dari arah kiblat, seorang anak dan ayah yang terpisah beberapa meter dariku.
Tertarik memperhatikan seorang ayah mengajari tafsir Alquran pada anaknya. Walaupun sang anak masih segar lagi polos, tetapi ia tetap memperhatikan ayahnya kala menjelaskan. Tanya jawabnya berpartisipasi dalam iktikaf ini.
Mengapa aku tahu apa yang mereka bahas? Selain jarak antara kita tidak terlalu jauh di depanku, juga aku sempat mendengar ayah sang anak menjelaskan tentang tafsir dari Al-Baqarah ayat 183 yang membahas tentang puasa. Selain membahas tentang tafsir ayat tersebut, sang ayah juga menjelaskan sejarah puasa seperti apa dan juga disisipi nasihat-nasihat untuk anaknya.
***
Kucumbu gelas kopi yang kini menghangat. Hangatnya mengalir menyeluruh ke sisi tubuh. Rasa itu kini tiba di hati. Bersama dengan ketenangan dan kelembutan. Dengannya, raga beserta jiwa bisa rehat sejenak pasca berkegiatan sefase mentari berputar. Harapku, rasa itu bisa menggiringku beriktikaf lebih semangat.
Namun, kehangatan itu tak dapat mengusir pemberat yang menempel di mata. Kuputuskan untuk berdiri, melangkah keluar. Barangkali tiupan dari sang malam dapat mengusir hama-hama di mataku. Tatkala menuruni tangga, tiba-tiba hama di mataku lenyap sesaat setelah melihat fajar di gelap malam.
Rupanya Wiwi yang menjelma sebagai fajar yang hangat di kegelapan malam. Cerahnya rupa membuatku tertegun. Waktu juga seakan ikut mengagumi dan menikmati cerah dan hangatnya. Tangannya yang mungil menata kudapan untuk peserta iktikaf. Pandangannya terfokus pada kudapan yang hendak diambil. Keduanya saling bersinergi agar kudapan cepat tersaji.
Bibir ini hendak menyapa, tetapi hati menghasut. “Janganlah kau sapa dia! Kita ini belum pantas. Level kita dengannya terpaut jauh.” Mata hendak melirik, mengkhusyukkan pandangan ke arahnya, tetapi kupalingkan. Jika dia sadar akan pandanganku, jantungku akan berdegup kencang dan akan meledak.
”Mas, tolong bawain snack ke lantai dua, ya.” Suara itu menghentikanku. Menghentikan langkahku yang hendak kembali ke lantai dua. Aku menghampiri ibu yang memanggilku tadi. Lalu, ibu itu menyodorkan piring-piring yang terisi penuh snack untuk iktikaf.
”Memangnya sudah jam berapa, Bu? Kok sudah mau dibagiin snack-nya,” tanyaku.
“Lho? Nggak lihat jam toh, Mas?” jawab ibu itu sambil menunjuk jam dinding yang tergantung di atas pintu dapur masjid yang menunjukkan pukul sepuluh.
Sikap polos dan tak bersalah muncul bersama dengan tawa kecil pertanda malu. Ibu itu sontak tertawa kecil karena tingkahku. Wiwi yang di dekatnya juga tersenyum tipis. Mungkin memang karena menurutnya situasi ini lucu atau karena tingkah konyolku ini. Yang jelas, rasa malu yang kutanggung semakin besar dan berat.
Aku pun mengantar piring-piring ini ke masjid lantai dua, tempat iktikaf laki-laki. Sedangkan Wiwi mengantar ke masjid lantai satu, tempat iktikaf perempuan. Kami bolak-balik mengantarkan piring ke peserta iktikaf. Satu per satu piring diletakkan ke kerumunan. Piring belum diletakkan, bocah-bocah berebut snack yang masih di tanganku.
***
”Tadi aku juga gitu, Mas. Anak-anak pada rebutan snack-nya.” Wiwi juga mengalami hal yang sama. Wajahnya yang mungil tampak lesu. Dia memang lebih penat daripada aku. Dia yang menata, dia pula yang mengantar. Walaupun begitu, rupa yang ia tampilkan tetaplah juita, tak terlihat penat ataupun kesah.
Aku berpamitan kepada ibu-ibu yang di depan dapur. Mereka pun berterima kasih atas kerjaku. Tak lupa, aku melambaikan tangan pada Wiwi sebagai tanda perpisahan. Wiwi pun membalas, dan tak lupa senyum tipis yang bagaikan gula aren ia pancarkan sambil berucap tanpa suara, ”Hati-hati.” Tentu, hatiku yang rentan akan serangan mendadak seperti itu tertegun diam dan termenung saking senangnya.
Perasaan gembira tetap terasa sampai aku duduk kembali di mana aku beriktikaf. Selama berjalan, aku memasang ekspresi datar agar tak dicurigai. Kembalinya aku beriktikaf, suasana sedikit berbeda. Suara piring bertabrakan kecil dengan lantai ditemani dengan bincang-bincang menambahi suasana iktikaf makin akrab dan intim.
Aku juga memakan kudapan yang tersaji di dekatku. Rama juga turut menyantap. Lepas itu, dia kembali membaca Alquran yang ia taruh di pangkuannya. Baiklah, aku juga harus melakukan sesuatu dalam semarak iktikaf malam ini.
Jariku menghitung satu demi satu lantunan zikir tanpa suara. Subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah, allah akbar. Sepuluh. Dua puluh. Tiga puluh. Bahkan sampai seratus pun tetap terus. Lisanku menyerah di tiga ratusan. Entah tepatnya berapa.
Sruputan kopi yang kini menyejuk mengalir ke tubuh. Dahaga hilang lepas. Tubuh langsung rebah lepas itu. Mata belum terpejam. Pikiran diganggu banyak pertanyaan aneh bin ajaib. Kenapa kuda harus memakai sepatu kuda. Memikirkan konsep cerpen yang ingin aku buat lagi setelah vakum lebih dari dua bulan. Kenapa Wiwi kasih respons begitu ke aku. Sampai ke pemikiran aneh yang mungkin kalian dan aku pun terheran-heran dan enggan membacanya.
Untuk mengusir mereka, aku bangkit dan membaca Alquran lagi setelah sebelumnya tertunda karena mengantuk dan lelah. Halaman satu per satu kubalik pertanda sudah dibaca. Istirahat sejenak. Melihat suasana masjid yang memanjang melintang secara vertikal. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lewat. Satu-dua orang–mungkin bapak-bapak–meninggalkan masjid dengan tasnya. Piring-piring mulai nihil isinya. Penghuni iktikaf merebahkan badan di tembok dan lantai dengan mata terpejam. Yang iman dengan tabiatnya juga masih eksis. Hadirnya golongan yang saling mengobrol ditemani pengganjal perut di tangan ikut memberi aspirasi dalam iktikaf yang kian hampa.
Di dalam kehampaan itu, sebuah ombak gelap menyeretku jauh dari keramaian. Suara-suara iktikaf tak lagi terdengar. Ombak itu mengantarku ke awan gelap yang lembut. Awan itu sangat nyaman dan empuk. Tubuhku dimanjakan oleh kelembutan. Pijatan-pijatan halus membuat semua sudut sendi dan otot rileks. Itu semua hanyalah tipu daya. Tipuan yang justru mengantarkan raga dan jiwa yang kugenggam ke dunia fana yang selalu kuharapkan ada.
***
Suara Wiwi mulai terngiang-ngiang. Suaranya yang lembut nan tegas mendayu indah di antara keramaian taman kala malam. Dia bercerita tentang kuliahnya yang penuh lika-liku padahal baru semester dua. Aku terkadang memberi petuah, seringnya menjadi pendengar. Karena aku tahu, dia hanya ingin didengar dan diperhatikan. Memang dia wanita yang terlihat apatis, aslinya peduli dengan orang terdekatnya, termasuk aku. Dia pun bertanya bagaimana kuliahku. ”Ya, biasalah. Udah mendekati akhir, bebannya kayak terasa berat aja gitu,” jawabku penuh kesah, tapi diintonasikan santai. Dia sudah paham. Dia pun menyentuh lembut pundakku, lalu memeluk jemariku dengan jemarinya yang unyil. ”Mas pasti bisa!” ucapnya dengan nada yang lembut lagi tegas dan mata yang sungguh nan indah.
Selepas Wiwi berucap, aku tersadar. Aku sudah tertidur berapa lama? Jam menunjukkan pukul tiga kurang. Orang-orang sudah berkurang drastis. Tinggal beberapa. Aku langsung merapikan barang bawaan. Membawa kudapan yang tersisa untuk teman sahurku nanti.
Aku berjalan melewati gang. Sudah puluhan langkah aku meninggalkan masjid yang berada di ujung gang dan menghadap jalan utama. Asrama yang menjadi tempat bernaung di perantauan letaknya tak jauh dari masjid. Hanya 100 meter masuk ke dalam gang. Selama telapal kaki mencium jalanan aspal, aku masih terpikir betapa bahagianya diriku bisa bersama Wiwi walau dalam fana. Memang singkat, tapi cukup. Yang harus dikhawatirkan, selama iktikaf aku belum bisa maksimal. Maklum, pagi dan siang padat dengan kegiatan akademik dan mengurus berkas untuk praktik kerja lapangan. Memang hamba-Mu ini belum maksimal dalam beriktikaf, tapi hamba ikhlas melaksanakan iktikaf karena-Mu.
Berjibaku dengan pikiran, melangkah ke asrama terasa bagai berlari saat balapan. Sampai akhirnya, aku tiba di garis akhir balap lariku. Aku tiba di asrama, masuk ke kamar, dan mempersiapkan sahur.
Autobiografi
Aku Hasan. Nama lengkap Hasan Maulana Ibrahim. Aku terlahir di Lubuk Linggau 21 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 12, bulan 4, pukul 10 malam dalam keadaan sehat. Sekarang, aku sedang berkuliah di Universitas Diponegoro jurusan Statistika semester 6. Hobiku sebenarnya membaca, tapi beberapa bulan ke belakang cukup sering menulis. Lebih sering menulis cerpen walau kadang tak tuntas karena kesibukan akademik.
Orang tuaku masih lengkap. Ada ayah, ada ibu; tapi lebih sering dipanggil anak-anaknya “mama”. Aku memiliki dua adik. Keduanya perempuan. Adikku yang pertama akan menginjak bangku SMA, yang kedua akan naik ke kelas 6 SD. Hobi membacaku mungkin menurun dari mama yang sering bercerita bahwa di masa sekolah dulu suka membaca. Dan, itu menurun pada aku dan adik pertamaku.
Semoga aku bisa lebih konsisten dalam membuat cerpen dan bisa dinikmati oleh banyak orang. Sekali lagi, aku Hasan. Sekian dan terima kasih.