PAGI itu MRT sudah lumayan padat sejak keberangkatannya dari stasiun pertama di Lebak Bulus, Jakarta. Di gerbong kedua tak satu pun penumpang yang berdiri, kecuali Damar. Entah di gerbong lainnya. Tiada lagi semangat di hati Damar, bahkan sekadar untuk mencari tempat duduk. Hanya satu yang ia pikirkan saat itu—ucapan dokter yang terdengar bertalu-talu di telinganya. Terus saja berulang setiap kalimatnya selesai, seakan ada pemutar suara mikro menempel di dalam sana. Andai saja kupingnya itu barang tempelan ia pasti dengan mudah melepasnya dan menggantinya dengan yang baru.
“Secara teori usia Mas Damar maksimal hanya sampai enam bulan ke depan.” Kalimat inilah yang diutarakan oleh dokter lima bulan lalu dan mengganggu hidup Damar hingga kini. Ia divonis mengidap kanker usus stadium tiga setelah melalui rangkaian pemeriksaan medis. Dan bertolak belakang dengan sang dokter yang tidak berhenti membesarkan hatinya di setiap sesi periksa, semangat hidup Damar justru terus menciut.
Damar merasa hidup sendirian di dunia ini. Keluarga tak ada, kawan tak punya. Setidaknya begitulah ia menganggap. Ia sengaja meninggalkan keluarganya di desa tiga tahun lalu untuk mencari peruntungan di Jakarta. Celakanya, Damar tidak paham bahwa ibu kota yang menjanjikan banyak kemewahan itu ternyata lebih banyak memberikan jebakan. Teman-teman (begitu mereka mengaku) barunya di Jakarta menuntun Damar ke dalam jerat alkohol dan narkoba yang pada akhirnya menyusahkan hidupnya. Dan yang mengaku teman-teman itu sekarang meninggalkannya begitu saja.
Damar tidak berani pulang ke kampung. Malu. Ia bertekad untuk bangkit sendiri. Dengan niat kuat dan semangat membara ia lawan sisi gelap jiwanya. Dan berhasil. Bagian-bagian hidupnya yang berantakan mampu ia satukan kembali untuk dibangun dengan lebih kokoh. Hingga kalimat dokter yang ia dengar itu menggelegar dan merobohkan kembali semangat hidupnya.
Tentu saja Damar tidak bisa menyalahkan sang dokter. Dokter hanya ‘membaca’ apa yang sudah ‘tertulis’ di dalam tubuh pasiennya. Yang lebih layak disalahkan adalah penulisnya. Dirinya sendiri. Dan kini ia sedang menanggung seluruh kesalahannya itu dengan pasrah. Ia tidak akan menolak jika Tuhan memang berkehendak memanggilnya. Ia juga tidak lagi memedulikan penyakitnya. Jadwal pemeriksaan yang seharusnya ia turuti diabaikannya.
Sekarang adalah bulan keenam sisa hidup Damar, bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan. Damar tidak tahu mau ke mana. Ia hanya iseng naik MRT, memandangi deretan gedung-gedung tinggi yang berdiri kaku tanpa ekspresi, seperti raut wajah para penumpang di gerbong itu. Mungkin setelah tiba di stasiun akhir ia akan turun dan jalan-jalan, atau nonton film sambil menunggu waktu berbuka puasa, lalu makan di pinggir jalan. Yang jelas Damar hanya ingin mengisi sisa hidupnya dengan menghibur diri. Sudah dua hari ini ia izin tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Untunglah rekan sekuriti satu timnya bisa menggantikan dirinya.
Empat stasiun dilewati sudah. Lalu lintas penumpang yang naik-turun membuat gerbong makin penuh. Damar melihat seorang perempuan yang duduk tidak jauh darinya beranjak menuju pintu, bersiap untuk turun. Damar menunggu penumpang lain mengisi tempat duduk yang ditinggalkan perempuan tersebut, tapi hingga kereta kembali berangkat tidak ada penumpang yang mendudukinya. Akhirnya Damar menempati bangku itu.
Sepertinya si perempuan meninggalkan sampah, karena Damar melihat selembar kertas yang terlipat rapi tertinggal di atas bangku. Ia memungutnya lalu duduk. Dipandanginya kertas tersebut. Di satu sisinya terlihat coretan sketsa berbentuk hati warna merah. Damar membuka lipatan kertas itu. Sebuah kalimat tertulis dalam font kaligrafi yang begitu indah di sana.
“Hari ini adalah awal mula dari kesembuhanmu. Karenanya, bersyukurlah dan nikmati hidupmu.
Salam, Sahabatmu.”
Hanya itu. Tapi emosi Damar langsung teraduk begitu selesai membacanya. Ia merasa terharu sekaligus bahagia. Seolah seseorang sedang memedulikannya dengan siraman motivasi. Sesuatu yang tak pernah ia dapatkan selama ini. Jangankan motivasi, bertanya kabar saja sangat jarang ia terima dari seseorang. Maklum, selain introvert Damar juga apatis.
‘Ternyata aku membutuhkan orang lain,’ pikirnya.
Tidak berhenti Damar membaca kalimat itu berulang-ulang. Makin sering ia baca, makin besar semangat yang ia rasakan. “Terima kasih, Sahabat,” tanpa sadar ia menggumam lirih, cukup membuat orang sebelah melirik.
Fixed, hari itu menjadi momen titik balik kedua bagi Damar. Dari yang sebelumnya menolak mati tapi tanpa daya menghadapi kondisinya, kini menjadi ikhlas mati tapi tetap bersemangat menjalani sisa hidupnya. Dan hari itu juga Damar mengikuti saran si penulis surat.
Begitu turun dari gerbong ia mulai mencoba mensyukuri semua yang ditangkap oleh indranya. Lalu mendadak gedung-gedung yang ia pandangi menjadi lebih berwarna. Wajah orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya terlihat begitu menyejukkan. Klakson kendaraan yang saling bersautan pun ia jadikan iringan untuk bersenandung.
ESOK harinya Damar terbangun dengan sebuah senyuman terindah dalam hidupnya. Belum pernah ia merasakan hidup seperti ini. Dibukanya jendela dan mengucap selamat pagi kepada alam. Hal yang sama ia lakukan pada surat yang ditemukannya di dalam gerbong MRT tempo hari. Surat itu ditempelkannya di sudut atas cermin di dalam kamarnya, sehingga setiap hari ia bisa membaca dan meresapinya dalam hati.
“Selamat pagi, Sahabat,” ucapnya. “Mulai hari ini kau akan menemaniku ke mana pun aku pergi. Aku ingin kau menjadi saksi perjalananku menuju garis akhir hidupku.”
Di sepanjang jalan Damar menyapa hampir setiap orang yang berada di dekatnya. Banyak yang membalas, tapi tidak sedikit juga yang mengernyitkan dahi dan mengacuhkannya. Tapi Damar tidak peduli. Ia sudah berbuat sesuai keinginan hatinya, dan itu membuatnya bahagia.
Di kantor, Damar menyapa semua orang.
“Wah, sudah sembuh rupanya. Wajahmu terlihat sangat cerah,” sergah Dewi, atasannya, begitu melihat Damar berbeda dari biasanya. Lebih sumringah.
“Alhamdulillah, Bu. Rasanya sudah enteng sekarang,” jawab Damar.
“Ya, terlihat jelas di mata saya.”
Yang menarik, setelah perubahan terjadi pada diri Damar, semua rekan kerjanya pun bersikap sama. Menjadi lebih ramah pada dirinya, mudah mengucapkan terima kasih, dan tak jarang ikut membantu beberapa tugasnya juga. Memarkirkan kendaraan tamu atau sekadar membukakan pintu bagi para tamu.
‘Duniaku benar-benar berubah. Mungkin Tuhan mengatur ini untuk mengiringi kepergianku agar perjalananku lancar menuju surga.’
Hati Damar sungguh bahagia sekarang. Tinggal satu hal yang belum ia lakukan, yaitu mengungkapkan kondisinya kepada semua orang yang ia kenal. Sengaja ia simpan itu karena tidak ingin membebani hati orang lain dengan merasa kasihan padanya. Damar menunggu momen yang pas.
Dan momen itu akhirnya datang di hari ketiga hitung mundur kematiannya. Damar menghadap ke atasannya.
“Bu Dewi,” katanya di ruangan bosnya, “ada hal penting yang mau saya sampaikan. Tidak hanya untuk Ibu saja, tapi juga untuk seluruh karyawan kantor. Karena itu kalau diperkenankan saya minta waktu 10-15 menit saja setelah jam pulang sore ini.”
“Wah, wah, wah… ada apa ini?”
Damar tersenyum, lantas mengungkapkan semua yang ingin ia sampaikan.
“Sepertinya kau begitu yakin akan mati tiga hari lagi, Damar. Kau percaya pada kata dokter atau pada kuasa Tuhan?” Dewi mencoba membesarkan hati Damar. Upaya yang sejatinya tidak diperlukan oleh Damar karena ia sudah merasa ikhlas dengan kondisinya.
“Ini justru karena saya tidak yakin akan kematian saya, Bu. Tuhan bisa mencabut nyawa saya kapan saja dan saya tidak tahu kapan saatnya. Karena itu mumpung saya masih hidup, saya merasa harus melakukan ini secepatnya. Meminta maaf dan berterima kasih kepada semua orang. Daripada menyesal nanti.”
Dewi menerima alasan Damar dan memberinya waktu yang ia perlukan. Dampaknya, sore itu bukan hanya Damar yang meminta maaf dan mengungkapkan rasa terima kasih, tapi semua orang di kantor tersebut juga melakukan hal yang sama kepada semua orang. Di ujung acara Dewi berpesan kepada Damar untuk memeriksakan kembali penyakitnya ke dokter dengan biaya dari kantor.
“Sahabatku,” kata Damar pada suratnya dalam perjalanan pulang, “meskipun sesungguhnya aku sudah tidak lagi memikirkan penyakitku, besok aku akan menghadapi sebuah momen yang menegangkan. Jadi, tetaplah bersamaku.”
SIANG hari berikutnya Damar terhenyak tidak percaya di hadapan dokter yang baru saja menyampaikan hasil pemeriksaannya—juga dengan terheran-heran.
“Saya pastikan sudah tidak ada sedikit pun sel kanker di tubuh Mas Damar,” kata dokter. “Saya tidak mau tahu Mas Damar berobat ke mana selama ini, tapi apa pun upaya Mas Damar itu ternyata telah berhasil membersihkan sel kanker dari tubuh Mas Damar.”
Damar meninggalkan rumah sakit dengan wajah sumringah maksimal. Tidak peduli pada tatapan orang-orang, ia menciumi suratnya sambil berjalan menuju mobil kantor yang mengantarnya.
‘Inikah yang namanya berkah Ramadan?’
Tiba-tiba Damar merasa harus menemukan orang yang menulis surat tersebut. Entah bagaimana ia sangat yakin kalimat dalam surat itu telah menyelamatkannya dari serangan kanker. Ia harus mengucapkan terima kasih kepada penulisnya.
Dan pencarian pun dimulai Damar dengan membongkar memori di dalam otaknya. Ia masih ingat seorang perempuan di dalam gerbong MRT yang beranjak berdiri sambil menjatuhkan surat itu di atas tempat duduknya. Damar mencoba mengingat-ingat ciri-ciri perempuan itu. Ia sempat melihat sebagian wajahnya dari jarak cukup dekat. Perempuan muda, usia 25-an, berambut lurus panjang sebahu, dan sepertinya pekerja kantoran. Damar yakin mengenalinya kalau ia melihatnya lagi.
Setiap pagi Damar datang lebih awal ke stasiun MRT Lebak Bulus dan mengamati setiap penumpang yang berdatangan. Begitu kereta berangkat Damar berjalan menelusuri setiap gerbong. Atau, ia berdiri di ujung gerbong dan mengamati setiap gerakan penumpang perempuan yang hendak turun. Dengan harapan, perempuan itu masih melakukan hal yang sama—menulis surat dan meninggalkannya untuk orang lain. Terus begitu yang ia lakukan setiap hari dalam gerbong yang berlainan.
Begitu pun sore harinya. Damar pulang kantor lebih awal lalu menghadang di stasiun Lebak Bulus, berharap menemukan perempuan tersebut. Namun hingga satu bulan lebih setelah Ramadan usai pencarian Damar tidak membuahkan hasil. Akhirnya ia menyerah.
Malam itu, sambil berbaring di atas ranjang Damar memandangi tulisan indah surat ajaib itu. “Baiklah, siapa pun dirimu, aku mengucapkan banyak terima kasih karena telah membuatku sungguh-sungguh menikmati hidup,” ucapnya. “Aku jadi paham bahwa kesedihanku akan masa lalu dan ketakutanku akan masa depan hanya bisa dihalau dengan mensyukuri apa yang kita hadapi di saat sekarang. Dengan sepenuh hati. Seperti saranmu: bersyukurlah dan nikmatilah.
“Aku yakin kita akan bertemu suatu saat nanti. Entah di kehidupan ini atau di kehidupan setelah mati, aku tetap menunggu momen itu dengan sabar. Sampai jumpa, Sahabatku. Malaikatku.”
Damar akhirnya menyimpulkan bahwa surat ajaib itu dibuat secara khusus oleh malaikat untuknya. Kalau tidak, bagaimana mungkin dari puluhan penumpang yang berdiri di dalam satu gerbong MRT tidak ada yang mau menduduki kursi tak berpenghuni.
‘Malaikat sengaja menyiapkan kursi itu untukku, agar aku menemukan surat tersebut.’
Dan Damar pun terlelap.
BEBERAPA kilometer dari rumah kontrakan Damar, Debra tengah menyelesaikan sebuah surat yang lain. Untuk hari ini ia memberi motivasi kepada siapa saja yang sedang mendambakan pendamping hidup.
“Jodoh manusia itu sudah menjadi urusan Tuhan. Kamu tidak perlu mencari, karena dialah yang akan
mendatangimu. Atas kehendak Tuhan. Kuncinya, sabar dan ikhlas.
Salam, Sahabatmu.”
Debra melipat kertas itu dan menggambar coretan hati, lalu menyimpannya di dalam tas. Besok ia akan meletakkan kertas itu di halte busway depan kantornya, berharap ada yang terbantu hidupnya dengan kalimat yang ia tulis.
Begitulah kebiasaan baru Debra sejak awal Ramadan lalu. Sebuah kebiasaan sederhana yang lahir dari keinginan sederhana: berbagi kebaikan. Karena merasa tidak mampu berbagi dalam bentuk uang atau barang, Debra memutuskan untuk berbagi motivasi dan doa melalui sebuah surat. Satu motivasi atau doa per hari sepanjang Ramadan, dan diletakkan secara acak di berbagai lokasi. Dan kini, karena terbiasa, setelah Ramadan berlalu pun Debra masih melakukan itu.
Semoga ada malaikat yang menyampaikan doa atau motivasiku kepada orang yang sedang membutuhkan, begitu Debra selalu berharap.
***