Dua empat musim lewat, ramai bisik-bisik
Ada buruh, guru, penadah, nelayan di laut lepas, bahkan sekadar
Pemuda selembar dua keping lima ratus rupiah
Meranggas sore itu, butir-butir hidrida
Lalu ada bahasa yang diserukan
Majikan gerobak besi atau kayu, lagi-lagi habis tembokku
“Lima ribu saja, pak” lalu selongsong mata uang tepekur
Melulu, “Tak apa, simpan saja”
Begitu bergulir, tak terlupa tapi
Amat manis, hingga noda tanah di selingan rampung lagi
Kadang seruan-seruan itu dibiaskan
Lalu aku bisu, gamang pada ciap-ciap persegi, ataukah
Jadi tetes hujam bongkah keras batu, baiklah
Memang tak silap lagi, raga ini mesti timbun kesah
Melaskar huru-hara sehutan
“Oi, harus ingat kamu!”sorban putih meliuk-liuk
Kebaikan sepuluh-sepuluh, tak salah lagi
Katanya, “Jangan tinggal lagi yang kini, kau sudah maju, tinggal gawai!”
Bahkan untaian kalan Ilahi nampak di cakrawala
Seindah itu,
Maka biarkan, sejuta dua juta tahun
Inginnya tinggal, di malam seribu bulan milik Ilahi
1 COMMENT
Bagusss puisinya..